Author: Tita Tilawati
Cerpen Cinta |
”Apa aku bukan anak kandung ibu ya May?”
Sejenak
kalimat itu terlintas dipikirannya. Kalimat itu dilontarkan oleh Nanda,
kakak yang selama ini lebih tepat disebut sebagai anak angkat dalam
keluarganya. Padahal dia adalah anak pertama di keluarga ini. Nanda
begitu terpukul saat ibu berkata bahwa dia hanyalah anak pembawa sial.
Maya sempat berfikir, begitu tega kata-kata itu keluar untuk orang yang
selama ini selalu berbagi dengannya. Katakanlah walau seorang ibu yang
mengatakan, tapi Maya yakin itu adalah hal yang menyakitkan untuk
seorang kakak yang rela menerima lamaran lelaki yang sama sekali tak
dicintainya. Nanda melakukan itu karena dia tak ingin mengecewakan
perasaan sang ibu.
Beberapa bulan yang lalu Nanda mengalami istihadhoh. Ini
terjadi karena Nanda pernah akan diperkosa seseorang yang menjadi
tangan kanan ayahnya. Sampai akhirnya lelaki itu diusir dari rumah
setelah Nanda menceritakan semua. Awalnya Nanda tak berani buka mulut,
tapi karena penyakit yang dideritanya tak kunjung sembuh, tak ada cara
lain selain mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Itupun tak semua
orang tau, dalam keluarganya, hanya ayah dan Maya yang Nanda beritahu.
Nanda tak berani mengatakan hal ini kepada ibu. Kendatipun ia depresi,
tapi mengatakan hal yang sejujurnya pada ibunya hanya akam memperburuk
suasana.
Setelah
sekitar 4 bulan Nanda dirawat, namun penyakitnya belum sembuh. Semua
perkakas rumah dan barang-barang berharga terpaksa dijual untuk menebus
biaya rumah sakit. Sampai akhirnya cincin perkawinan ayah dan ibu
terpaksa dijual. Hal inilah yang membuat ibu berkata bahwa Nanda
hanyalah pembawa sial. Begitu ku pahami bagaimana perasaan kak Nanda.
Dia begitu kecewa. Tapi apalah daya jika seorang ibu mengatakan demikian
terhadap darah dagingnya sendiri. Nanda hanya bisa pasrah dan berusaha
tegar menghadapi cobaan ini.
Maya tersadar dari lamunannya, ia melihat jam dinding.
”Astaghfirulloh, udah jam 6, uuuuuh…bisa-bisanya aku nglamun, Ya Alloh semoga semua ini cepat berakhir,” Maya bergegas keluar kamar.
Seperti biasa, tiap pagi Maya harus melakukan tugas rumah. Saat Maya tengah menyapu lantai di ruang tamu, tiba-tiba…
”PRANGGGG!!!”.
Maya mempercepat langkahnya menuju ke dapur, dilihatnya Nanda tengah kesakitan sambil memegang kepalanya yang kemudian pingsan.
”Kak, Kak Nanda kenapa? Ayah, kak Nanda pingsan!!!”
Ayah
yang semula sedang menjahit baju segera ke dapur. Dilihatnya anak
pertamanya itu tak sadarkan diri. Tanpa berpikir panjang ayah segera
memanggil tukang becak yang biasanya mangkal di deoan rumah dan langsung
membawa Nanda ke rumah sakit dekat rumahnya.
Setelah diperiksa, aku dan ayah dipanggil dokter.
”Bagaimana keadaan anak saya Dok?” tanya ayah.
Maya tampak cemas menunggu keputusan dokter. Dokter bertanya apakah kejadian ini pernah terjadi sebelumnya. Aku dan ayah saling berpandangan dan langsung menggelengkan kepala. Dokter menghela nafas.
”Anak anda terkena kanker otak stadium akhir”.
Ayah dan Maya tercengang menangkap perkataan dokter.
”Apa??? Dokter saya mohon anda jangan bercanda. Ayah, katakan kalau dokter ini bohong.” Maya menangis di pelukan sang ayah.
”Kemungkinan anak bapak hidup hanya dua bulan lagi.” Dokter menimpali.
Dua bulan lagi!!!! Ya Alloh, dua bulan lagi adalah pernikahan kak Nanda. Ini nggak mungkin!!!
Beberapa
menit kemudian, Nanda tersadar. Dokter mengizinkan Nanda tidak dirawat
di rumah sakit sesuai permintaan ayahnya. Mengingat biaya rumah sakit
yang begitu membumbung tinggi. Ayah meminta agar Nanda dirawat di rumah
saja. Sepuluh menit kemudian Maya menuju becak yang ditumpangi kakak dan
ayahnya sambil membawa obat dari apotek.
”Yah, Maya jalan kaki aja.”
Belum
sempat berkata apa-apa, Maya berlari meninggalkan ayah dan kakaknya.
Sesampai di rumah, Maya segera merapikan kamar kakaknya.
Saat Maya menemani Nanda di kamarnya, ayah memanggilnya untuk membicarakan tentang penyakit Nanda.
”May, ayah mohon jangan sampai kakakmu tau tentang hal ini.” Pinta ayah.
”Maya
setuju kalau kak Nanda tidak boleh tau tentang hal ini, tapi ibu harus
tau. Tapi bagaimana kita memberitahu ibu tentang hal ini, Yah? Lalu kak
Fahri?” Maya Nampak bingung.
Ayah
nampak berpikir, tapi tak ada jawaban. Beliau berpikir kapan waktu yang
tepat membicarakan ini, sementara ibu hanya akan pulang menjelang hari
pernikahan Nanda. Dan itu berarti… Masih adakah kesempatan??? Sementara
Fahri yang sedang ke luar kota mengurus pekerjaannya juga akan pulang
dalam waktu dekat menjelang pernikahannya. Hati ayah semakin tak
menentu.
Keesokan
harinya, Nanda tengah memandang secarik kertas undangan pernikahan.
Disana tertulis Ananda Naila Rahma dengan Muhammad Fahri. Tiba-tiba air matanya menetes di kertas itu.
”Kakak kenapa nangis?” Tanya Maya yang kemudian duduk di depannya. Nanda memeluk Maya.
”Maafin
kakak May, kakak tau kamu pasti terluka dengan ini semua. Fahri adalah
satu-satunya lelaki yang kamu cintai, tapi…” Isak Nanda terhenti saat
Maya melepas pelukannya.
”Sudahlah kak, Maya ikhlas, lagipula kak Fahri cinta sama kak Nanda bukan Maya.” jelas Maya yang membuat Nanda terharu.
”Tapi kakak nggak cinta sama Fahri, ini semua demi ibu.” Kata Nanda.
Maya mengusap air mata kakaknya dan berkata.
”Kak,
Maya yakin suatu saat nanti kakak akan mencintai kak Fahri.” Tapi
kata-kata itu hanya bualan semata saat Maya ingat bahwa umur kakaknya
takkan lama lagi.
***
Hari itu hari Senin, pukul 8 pagi Maya pamit pada ayah dan kakaknya.
”Yah,
Kak, Maya berangkat kerja dulu ya? Sebagian undangannya biar Maya yang
kasih ke teman-teman kakak.” Kata Maya sambil mencium tangan kedua orang
yang dicintainya. Tapi sayang, ibu tak ada di rumah.
Maya
maupun Nanda jarang bertemu dengan ibu mereka. Ibu bekerja menjadi
pembantu rumah tangga di desa sebelah. Bisa jadi sebulan sekali baru
pulang. Ayah menghidupi keluarganya dengan bekerja menjadi penjahit
dibantu oleh Nanda. Sedangkan Maya bekerja sebagai kasir di sebuah
supermarket. Kendati demikian, kebutuhan mereka kerap kekurangan. Tapi
mereka bersyukur atas segala rizki yang Alloh berikan.
Sore harinya, tak disangka ibu pulang untuk sekedar menjenguk keluarganya.
”Ayah sama Maya kemana?” Tanya ibu saat sampai di rumah.
Nanda yang tau kedatangan ibunya langsung mencium tangan beliau.
”Ayah belanja keperluan jahit bu, kalau Maya belum pulang. Ibu pasti capek, Nanda buatin minuman ya? Ibu mau teh atau…”
Belum
sempat Nanda bicara, Ibu berkata, ”Tidak usah, ibu buru-buru, tolong
sampaikan kalau ibu pulang lagi bulan depan, pas kamu mau nikah.”
Belum
sempat Nanda bertanya kenapa, ibu sudah pergi. Nanda tertegun,
terlintas di benaknya, begitu tak berharganya aku di depan ibuku, hingga
aku di sampingnya pun dia merasa risih. Tapi pikiran itu cepat-cepat
dia buang, dengan cepat dia berpikir positif, ahhh mungkin ibu memang
lagi sibuk, jadi nggak sempat istirahat.
Nanda
menceritakan kedatangan ibu yang mendadak pada ayah dan Maya ketika
mereka pulang. Tampak kekecewaan keluar dari raut wajah Maya, terlebih
lagi ayah. Tapi syukurlah, Nanda tak mengetahui hal itu, karena ayah dan
Maya tak ingin Nanda curiga.
***
Dua
minggu berikutnya, Nanda kembali pingsan, penyebabnya tak lain dan tak
bukan adalah kanker otak Nanda yang semakin parah. Ayah dan Maya pun
segera mengantarnya ke rumah sakit. Sampai disana dokter bertanya apakah
selama ini obat Nanda tidak diminum.
”Setahu
saya obat itu selalu diminum dok, berkali-kali kak Nanda bertanya itu
obat apa, tapi saya hanya bilang kalau itu hanya vitamin supaya kak
Nanda nggak gampang sakit.” Jelas Maya
”Tampaknya penyakit anak anda semakin parah pak? Kami menyarankan agar anak anda menjalani kemoterapy.” Papar dokter.
Ayah
dan Maya tak bisa berbuat apa-apa, bahkan mereka tak bisa berkata
apa-apa. Darimana mereka mendapat uang untuk biaya terapi Nanda?
Belum
sempat berpikir lebih jauh, terdengar suara Nanda memanggil ayah dan
Maya. Ternyata di balik tirai, Nanda mendengar semua perkataan dokter,
ayah, dan Maya.
”Maafin
ayah dan Maya ya kak? Kita nggak mau kak Nanda sedih gara-gara ini,
tapi kita akan berusaha mencari uang untuk terapi kak Nanda nanti.”,
terang Maya diikuti anggukan sang ayah.
Nanda
tersenyum melihat mereka berdua, tanpa berekspresi dia menceritakan
tentang penyakitnya itu. Ternyata sudah sejak 2 bulan yang lalu dia
sering merasakan pusing, tapi kejadian itu tak pernah dia hiraukan.
Mungkin itu hanya penyakit biasa. Nanda minta maaf atas ditutupinya hal
ini kepada keluarganya. Tapi Nanda tak rela uang hasil kerja keras ayah
dan adiknya habis untuk dia berobat kalau Nanda memberitahukan hal ini.
Terlebih kalau ibunya tau, Nanda semakin takut ibunya akan semakin
menaruh kebencian padanya. Tapi sungguh Maya kagum terhadap kakaknya,
begitupun ayah. Jujur dalam lubuk hatinya, Nanda samasekali tak pernah
menyesali ini semua. Semua manusia itu diciptakan oleh Alloh, dan
pada-Nya juga mereka akan kembali. Hanya itu yang dipegang teguh oleh
Nanda.
”Yah,
Nanda nggak perlu menjalani terapi itu, Nanda nggak mau rambut Nanda
habis, bukankah rambut adalah mahkota wanita, Nanda ingin suami Nanda
kelak bisa membelai rambut Nanda.” Ucap Nanda lirih.
Maya menangis mendengar ucapan penuh makna itu dan memeluk kakaknya yang masih terbaring lemah.
”Kita semua sayang sama kak Nanda, ya kan ayah?”, kata Maya.
Ayah mengangguk tersenyum diikuti air mata haru.
”Yah,
Nanda mohon jangan sampai ibu tau tentang penyakit Nanda, Nanda nggak
mau ibu semakin membenci Nanda. Jangan sampai Fahri juga tau tentang hal
ini, Nanda nggak mau membuatnya susah.” Tangis Nanda pecah saat pelukan
sang ayah mendekapnya.
”Iya, ayah janji putriku.”
***
Menjelang
1 minggu pernikahan Nanda, suasana rumah mungil itu tampak sibuk. Tapi
canda tawa tak pernah hilang di kediaman rumah itu.
”Oya kak, hari ini Maya gajian, kak Nanda pengen dibeliin apa? Nanti Maya bawain.”, kata Maya.
”Nggak usah May, uangnya dikumpulin aja, buat nikah kamu nanti.”, jawab Nanda.
Entah mengapa Maya menangkap perkataan Nanda penuh keheranan, yang pasti tak ada kata gurauan dalam ucapan Nanda.
”Yang mau nikah kan Nanda bukan aku, kenapa jadi gini?” Pikir Maya.
Sehari
sebelum akad nikah, ibu pulang untuk mempersiapkan pernikahan Nanda.
Ibu membawa berbagai makanan dari majikannya sebagai kado istimewa yang
diberikan kepada orang yang selama ini telah membantu mereka mengurus
rumah.
”May, Nanda mana? Kok cuma kamu yang beres-beres? Yang mau nikah kan dia?” protes ibu.
”Kak
Nanda lagi istirahat bu, dari kemarin malah kakak yang mempersiapkan
semuanya.” Maya terpaksa berbohong. Dia nggak mau ibu tau tentang apa
yang terjadi selama ini.
”Oh ya baguslah, bilang sama kakakmu suruh istirahat, nanti dia kecapekan.” Pinta ibu dibarengi anggukan Maya.
Belum sempat Maya bicara, Nanda tersenyum haru.
”May, benarkah tadi ibu bilang seperti itu? Alhamdulillah…” senyum Nanda merekah saat Maya menggangguk pasti.
”Iya kak, sekarang kak Nanda istirahat ya? Biar besok bisa lancar.” Nanda mengangguk pelan.
Jam
8 pagi akad nikah akan dimulai, Nanda terlihat cantik memakai jubah
warna biru kesukaannya. Jilbabnya pun telah dihias aneka warna bunga
segar, siapa lagi yang menghias kalau bukan sang adik. Nanda menolak
untuk dirias oleh perias. Alasannya itu hanya akan menghambur-hamburkan
uang.
Jam 8 lebih 5 menit mobil yang dikendarai Fahri tiba.
”Kak, Maya bangga sama kakak.” Kata Maya saat Nanda duduk di depan meja.
”Kakak juga bangga punya adik sehebat kamu May.”
Buru-buru Maya menyodorkan tisu saat air mata Nanda hampir menetes.
”Ups kakak, nggak boleh sedih lagi, ini hari bahagia kita semua kak.”
Keduanya lalu tersenyum.
Tepat
saat Fahri duduk di sebelah Nanda dan bersiap untuk melaksanakan akad
nikah, seketika itu pula Nanda memegang kepalanya, rasa sakit yang
begitu menusuk syaraf itu kembali dia rasakan. Selang beberapa detik,
diawali teriakan Nanda, dia pun pingsan. Secepat kilat Nanda dibawa ke
ruang ICU.
”May, Nanda kenapa? Cerita nak, nggak mungkin dia masuk ICU kalau tidak ada yang kamu sembunyikan sama ibu.”
Maya hanya menangis, terisak tak berdaya menatap wajah ibunya, ibu yang selama ini sangat dicintainya dan juga kakaknya.
”Nanda mengidap kanker otak stadium akhir.” Kata ayah yang berdiri dibelakang ibu dan juga Fahri.
Ibu dan Fahri lemah lunglai mendengar ucapan ayah, mereka tak percaya apa yang terjadi pada Nanda.
”Kenapa kalian tidak memberitahu ibu?” teriak ibu histeris.
”Kak Nanda yang minta semua ini, bu, kakak nggak mau ibu semakin benci sama kakak.” Jawab Maya masih dengan deraian air mata.
Kali ini ayah angkat bicara,
”Lihatlah
anakmu, dia rela menyimpan rasa sakitnya untuk orang yang selama ini
tak pernah mempedulikannya. Dia rela menanggung rasa sakinya itu
sendiri. Padahal jikalau ada belaian seorang ibu, tentu Nanda bisa
menikmati masa-masa terakhirnya tanpa setragis ini.”
Ibu tak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa pasrah melihat Nanda terbaring lemah.
Di ujung koridor tampak sosok Fahri yang terdiam. Dia ingin marah, tapi untuk apa dia marah? Toh semuanya sudah terlambat.
Maya mendekati Fahri.
”Kak Fahri, maafin Maya kak, kak Nanda bilang kalau kak Fahri nggak boleh tahu tentang masalah ini, kak Nanda…”
Kata-kata Maya terhenti saat Fahri menatap matanya. Jantung Maya berdegup hebat.
”Maya,
aku nggak nyalahin kamu, bapak, maupun ibu. Ini semua terjadi karena
kehendak-Nya, mungkin Nanda memang tak ingin menyusahkan aku. Aku sadar,
selama ini tak ada cinta Nanda sedikitpun untukku. Dia cuma mengikuti
perintah ibumu untuk menikah denganku. Itulah yang aku suka dari dia,
dia tidak pernah mementingkan kehidupannya sendiri, dia lebih memilih
membahagiakan ibunya walaupun harus mengorbankan perasaannya sendiri.”
Maya
tersenyum dan bergumam ”seandainya kamu tahu bahwa akulah yang selama
ini memendam cinta untukmu, dan akulah yang lebih banyak mengorbankan
perasaanku. Tapi sudahlah, aku akan melupakan semuanya.”
Sesaat
kemudian terdengar suara teriakan ibu yang histeris saat mendengar
ucapan dokter bahwa Nanda sudah dipanggil oleh-Nya. Seketika itu Maya
dan Fahri berlari menuju ruang ICU.
”May, kak Nanda sudah pergi.” Kata ibu diselingi tangisannya.
Maya
ternganga, terdiam kaku melihat kakaknya yang masih berbalut jubah
kesayangannya. Dalam hitungan detik akhirnya dia bisa berteriak,
”Kak Nandaaaaaaaaaaa…”
Maya memeluk jasad kakaknya dengan penuh penyesalan.
”Kak, kenapa kakak pergi secepat ini? Kenapa kakak ninggalin kita semua kak?”
Maya
meraih tangan Nanda seolah-olah dia ingin menarik Nanda dari malaikat
maut yang menjemput kakaknya. Tapi niat itu segera dilenyapkan oleh
Fahri. Secepat kilat dia menarik tangan Maya dan meletakkan kepala Maya
di bahunya. Isak tangis Maya pecah ketika terdengar Fahri berbisik,
”Ikhlaskan
semua, ada hal yang lebih indah dibalik ini semua. Bukan hanya kamu
yang kehilangak Nanda, tapi aku juga. Hanya doa yang diharapkan Nanda
dari kita May.”
Maya hanya bisa pasrah.
Tampak disampingnya adalah seorang ibu yang terisak diiringi berjuta penyesalan.
Maya mendekati ibunya.
”Bu,
kak Nanda sangat mencintai ibu, dan kak Nanda pasti akan sangat
membenci dirinya sendiri kalau dia tau bahwa kepergiannya hanya membuat
air mata ibunya terkuras habis.”
Kata-kata Maya membuat ibunya bertambah menyesal.
”Iya May, ibu ikhlas.”
Maya, Fahri, dan ayah tersenyum.
Setelah
selesai acara pemakaman Nanda, mereka semua pulang. Tiba-tiba terdengar
suara teriakan disertai jeritan histeris dari arah kamar belakang.
Kontan Maya dan ayah segera menuju tempat itu yang tak lain adalah bekas
kamar Nanda. Ibu diam terpaku di depan pintu kamar itu sesekali
menjerit sambil mengucapkan ”Aku adalah orang yang paling jahat
sedunia.”
Dari jauh, ayah dan Maya yang melihat kejadian itu hanya bisa beristighfar.
”May,
ayah tidak tega melihat ibu seperti itu, kendati pun kita tahu dia
bersalah, tapi ayah rasa ibumu sudah menyesalinya.” Kata ayah
meninggalkan Maya dan menghampiri istrinya.
Maya
mengikuti ayahnya, tapi dia tak berucap sepatah kata pun. Hatinya
semakin sakit melihat ibunya yang terkesan depresi. Dia menjerit dalam
hati,
”Kenapa ibu baru sadar saat kak Nanda udah pergi?????”
”Bu, istighfar, relakan kepergian Nanda. Jangan tangisi dia, karena itu akan semakin menyakitkan buat anak kita.” Kata ayah
Ibu kembali histeris, beliau meminta maaf pada ayah.
”Yah,
maafkan ibu. Selama ini ibu bukan ibu yang baik untuk Nanda, ibu adalah
manusia terjahat yang tak pantas mendapatkan maaf.”
”Ayah
bukan siapa-siapa disini, minta maaflah kepada Alloh. Dia Yang Maha
Pemaaf. Lebih baik kita sholat. Meminta petunjuk terhadap segala sesuatu
yang telah ditakdirkan pada kita, dan yang terpenting, kirimkan doa
untuk Nanda” ajak ayah kemudian.
Sehari,
dua hari, tiga hari, kondisi ibu semakin memprihatinkan. Beliau tidak
mau makan, kesehariannya hanya diam, merenung, menangis, dan tanpa
mengucapkan sepatah kata pun. Semua perkataan Maya dan ayah hanya
ditanggapi dengan anggukan dan gelengan.
Malamnya, ibu berkata pada ayah.
”Yah, nanti malam ibu mau tidur di kamar Nanda. Ibu kangen.”
Sambil menghela nafas ayah tersenyum dan berkata,
”Lakukan apa yang ingin ibu lakukan, setidaknya untuk meringankan beban ibu.”
Pukul 9 malam, ibu berhenti di depan pintu kamar Nanda, beliau ragu untuk melangkahkan kakinya ke dalam ruangan itu.
”Jangan masuk kamarku!” teriak Nanda
Seketika itu ibu sadar akan halusinasinya. Perlahan beliau melangkah mundur ketakutan.
Maya yang sedari tadi mengawasi ibunya tersontak kaget.
”Kenapa Bu? Biar Maya temenin ya?” ucap Maya sambil meneteskan air mata. Dia begitu mengkhawatirkan kondisi ibunya.
Tapi dengan tegas ibu menjawab,
”Tidak! Sebaiknya kamu tinggalkan ibu sendiri disini.”
Maya
tak berani membantah apa kata ibunya, dia pamit pada ibunya. Sejurus
kemudian dia berjalan kearah berlawanan dan bersembunyi di balik lemari
es.
Seakan tahu keberadaan Maya yang masih mengawasinya, ibu berkata,
”Menjauhlah, atau ibu yang akan menjauh.” Maya lari terbirit-birit sambil sesenggukan.
”Biarkan ibumu sendiri dulu May, lebih baik kita disini sambil menunggunya terlelap.” Kata ayah.
Di
kamar Nanda, perlahan ibu menutup dan mengunci pintu kamar itu.
Dilihatnya perabot kamar Nanda yang rapi penuh warna putih. Ibu ingat
saat Nanda kecil, dia begitu menyukai warna putih. Saat ibu bertanya
kenapa, dia menjawab
”Ibuku sayang, putih itu suci, sesuci cinta Nanda pada Ibu.”
Air
mata ibu menetes, sakit sekali saat ibu ingat bagaimana perlakuannya
selama ini pada anak pertamanya yang begitu mencintainya. Pandangan ibu
telah menguasai kamar kecil itu, matanya tertuju pada boneka lumba-lumba
berwarna pink. Terlihat warnanya telah memudar, maklum, itu hadiah
terakhir yang diberikn ibu pada Nanda di ulang tahunnya yang ke 20
seperti usia Maya sekarang. Tak terasa sudah 5 tahun boneka itu
bersarang di ranjang Nanda. Ibu mengusap boneka itu seakan ingin kembali
mengingat masa-masa saat beliau mengusap kepala Nanda. Tak lama
kemudian mata ibu terlelap saat memeluk boneka kecil itu.
”Pos.”
Ibu
tergopoh-gopoh keluar rumah dan mendapati sepucuk surat di depan pagar.
Belum sempat mengucapkan terima kasih, tukang pos itu sudah pergi. Ibu
membaca nama pengirim surat itu. Nanda. Ibu melonjak kegirangan dan
tanpa sadar beliau terjatuh.
Pukul 03.00 dini hari.
”Astaghfirullah, ternyata cuma mimpi.” Ucap ibu lirih.
Entah
mengapa tergerak hati ibu untuk sholat tahajud. Beliau segera mengambil
air wudhu. Berjalan ke kamar Nanda dengan mengendap-endap seolah takut
kalau ayah dan Maya terbangun. Dua rakaat telah beliau dirikan,
dilanjutkan dzikir sembari memegang tasbih milik almarhumah anaknya.
Hati ibu teriris kembali, beliau mengadu kepada Sang Khalik, meminta
ampun padaNya atas semua dosa-dosanya, juga atas kesalahannya pada
Nanda. Namun disisi lain, beliau merasakan indahnya berkhalwat dengan
Sang Pencipta.
Maya yang mendengar isak tangis itu segera membangunkan ayah, takut terjadi apa-apa dengan ibunya.
Perlahan-lahan
pintu kamar itu terbuka. Ayah dan Maya lega menyaksikan apa yang ada di
depan mata mereka. Akhirnya mereka pun ikut sholat disamping ibu.
Mereka bertiga menghabiskan sepertiga malam terakhir itu untuk berdzikir
bersama sampai subuh tiba. Selesai sholat subuh, mereka bertiga keluar
dari kamar. Ibu bergegas mandi, sementara itu ayah membersihkan rumah
dan Maya sibuk menyiapkan sarapan pagi. Maya sengaja memasak makanan
kesukaan ibunya, semur ayam. Setelah semua siap, mereka pun makan pagi.
Di
tengah lahapnya sarapan, tiba-tiba ibu teringat sesuatu. Surat. Ya ibu
berharap surat dalam mimpi itu memang benar-benar ada. Beliau
meninggalkan meja makan dan bergegas menuju kamar Nanda dan menguncinya.
Ayah dan Maya yang mengejarnya hanya bisa cemas menunggu di depan pintu
yang terkunci itu. Berulang kali ayah dan Maya memanggil-manggil ibu
tapi tak ada jawaban dari dalam. Mereka hanya bisa pasrah menunggu
ibunya keluar kamar.
Sementara
itu di dalam kamar Nanda, ibu sibuk mencari surat yang beliau mimpikan
semalam. Ibu memandangi semua yang ada di kamar itu. Dan ternyata memang
benar apa yang ada di dalam mimpi itu. Sesaat kemudian pandangan ibu
terarah pada sebuah kertas putih di di dekat foto Nanda. Ibu segera
mengambil kertas itu dan membacanya, disitu tertulis ”Untuk Ibuku
tercinta”.
Ibu…Maafin Nanda yang selama ini selalu membuat Ibu benci.
Nanda samasekali tak ada maksud membuat Ibu seperti ini.
Ibu…Nanda kangen saat-saat sebelum Nanda sakit beberapa bulan yang lalu.
Ibu begitu sayang, tapi begitu Nanda sakit, entah mengapa Ibu terlihat seperti membenci Nanda?
Bu, mungkin saat ini Nanda sudah pergi jauh, hilang ditelan bumi
Tapi Nanda akan selalu mencintai Ibu seberapapun kebencian Ibu pada Nanda.
Satu hal yang harus Ibu tahu
Selama ini Maya lah yang mencintai Fahri, bukan Nanda.
Begitu lama Maya menyimpan perasaan itu, tapi seketika hancur saar Fahri melamar Nanda, bu.
Nanda
tak ingin menyakiti perasaan Maya maupun Ibu, tapi bagaimanapun juga,
Nanda menyadari bahwa Nanda harus melakukan ini, karena Nanda sadar,
Nanda bisa membahagiakan ibu.
Bu,
Nanda ingin melihat Maya mendapatkan cintanya, dia terlalu lemah untuk
mempertahankan cintanya ketika ibu menyetujui lamaran Fahri. Biarkan
Maya mendapatkan kebahagiaanya, dia rela mengorbankan perasaannya demi
Nanda.
Tetesan air mata Ibu semakin meyakinkan bahwa selama ini kesalahannya
bukan hanya terletak pada Nanda, tapi juga Maya. Seketika itu Ibu
membuka pintu dan bergegas menuju rumah Fahri.
”Bruk!!!”
”Ya Alloh Ibu, apa yang Ibu lakukan?” terlihat ayah kaget melihat ibu jatuh tersungkur.
”Yah, ibu mau menemui Fahri sekarang juga!”, kata ibu.
”Ada apa lagi Bu?”. Tanpa berkata apa-apa, ibu menyodorkan secarik kertas tadi.
”Darimana ibu mendapat surat ini?” tanpa basa-basi ibu segera menarik tangan ayah dan mengajaknya menemui Fahri.
Maya yang saat itu baru dari kamar mandi lari tergopoh-gopoh dan berteriak,
”Ayah, ibu, mau kemana?” teriakan Maya pun tak mereka hiraukan.
Sesampainya dirumah Fahri.
”Lho, pak, bu ada apa?” Tanya Fahri.
”Lihat ini nak, ini surat dari Nanda.” Jawab ibu sambil memberikan kertas itu pada Fahri.
Fahri
tertegun tak percaya saat dia membaca bahwa Maya mencintainya. Dia tau
betul bahwa itu adalah tulisan Nanda, sebab sebelumnya Fahri juga
mendapatkan surat dari Nanda.
”Pak, bu, saya juga ingin memberitahu sesuatu.”
Fahri
masuk ke kamarnya dan keluar dengan membawa secarik kertas putih. ”Ini
juga surat dari Nanda, seminggu sebelum dia pergi.”
Tanpa menunggu lama ibu langsung membaca surat yang penuh teka-teki itu.
Fahri…aku takkan pernah bisa mencintaimu seperti dia
Aku takkan pernah bisa menyanjungmu seperi dia
Karena aku adalah sekelopak bunga yang hampir jatuh diterpa angin
Yang perlahan akan rapuh seiring terpaan angin yang takkan pernah berhenti berhembus…
Nanda
”Astaghfirulloh, Fahri baru sadar ternyata inilah maksud dari kata-kata Nanda.” Sesal Fahri.
”Selama
ini Ibu tidak pernah menyadari bahwa ada perasaan yang tersakiti. Maya
adalah calon adik iparmu, tapi justru dia yang memendam perasaan dalam
padamu. Seandainya…” kata-kata ibu terhenti.
Semua sudah terlambat, tak ada yang perlu disesali.
Fahri menghela nafas panjang,
”Pak, bu, masih adakah kesempatan Fahri untuk menjadi menantu anda?”
”Maksud kamu?” Tanya bapak.
”Izinkan Fahri melamar Maya.” Kata Fahri
Ayah dan ibu tampak bingung adanya ucapan itu. Selangkah kemudian Fahri melanjutkan perkataannya.
“Fahri
telah kehilangan orang yang Fahri cintai, dan sekarang Fahri nggak mau
kehilangan orang yang mencintai Fahri.” Pinta Fahri terlihat setulus
hati, membuat hati ayah dan ibu seakan luluh.
”Nak,
kali ini kami memberikan kebebasan kepada kamu dan Maya. Tanyalah
padanya apakah dia masih membuka hatinya untukmu.” Kata-kata ayah
terlihat berwibawa, membuat Fahri tersenyum penuh haru.
Malamnya, tanpa ingin menunda-nunda lagi, Fahri bersama kedua orang tuanya datang ke rumah Maya.
”Assalamu’alaikum Maya?” salam Fahri saat dia melihat Maya tengah membaca buku di teras.
”Wa’alaikumsalam, kak Fahri, mari silakan masuk.” Kata Maya.
Dia mempersilahkan masuk dan menyalami Fahri sekeluarga dengan sopan.
”Maya panggilkan ibu dulu kak.” Kata Maya diikuti anggukan Fahri.
”Mereka,
baik kakak maupun adik benar-benar menjadi idaman mertua.” Bisik ibu
Fahri pada Fahri. Fahri semakin menyadari bahwa dia tak mungkin salah
mengambil keputusan.
Tak lama kemudian ayah dan ibu Maya datang.
”Silakan diminum.” Kata Maya pada keluarga Fahri saat menyodorkan segelas teh manis.
”Maya mau kemana?” Tanya Fahri ketika Maya berbalik ingin ke dapur.
”Disini saja, ada sesuatu yang ingin kak Fahri katakan.”
Maya
menurut, dia samasekali tak tau apa maksud kedatangan Fahri dan
keluarganya. Baik dari pihak Maya maupun pihak Fahri, memberi kebebasan
pada Fahri untuk melamar Maya.
Tanpa basa basi Fahri berkata,
”Maukah kamu menikah denganku Maya?”
Maya
tercengang menatap Fahri. Jantungnya berdegup kencang, seolah-olah ada
badai yang sebentar lagi akan menghancurkan tubuhnya. Maya lemas. Dia
benar-benar bingung.
”Mungkin Maya kaget dengan semua ini. Tapi justru kak Fahri lah yang seharusnya kaget saat tau bagaimana perasaanmu selama ini.”
Jantung
Maya semakin tak karuan. Dia menutup mata, dan membukanya, dia sadar,
dia tidak sedang bermimpi, tapi, ”Darimana kak Fahri tau tentang
perasaanku?” Gumam Maya.
Fahri memberikan dua surat dari almarhumah kakaknya.
”Benarkah tentang semua ini Maya?” Tanya Fahri.
Maya
terisak, terasa bahagia saat Fahri tau tentang perasaanya selama ini.
Masih dengan isakan tangisnya, Maya mengangguk. Fahri terlihat lega.
”May, kak Fahri serius dengan semua ini. Ini jujur tanpa ada rekayasa ataupun suruhan siapapun.”
Maya diam.
”Maukah kamu menerima lamaranku?” Ulang Fahri terlihat tegas.
Maya tersenyum dan mengangguk.
”Kapan kalian akan melangsungkan pernikahan?” Tanya ibu Fahri.
Dengan tegas Fahri menjawab,
”Secepatnya!”
Selang satu minggu, akad nikah dilaksanakan. Tepat pukul 08.00 pagi,
terlihat Fahri tengah duduk di depan meja menunggu calon istrinya.
Sebelum menuju ruang tamu tempatnya melangsungkan akad nikah, Maya
menyempatkan masuk ke kamar Nanda. Dia mengambil foto Nanda.
”Kak,
hari ini Maya akan menikah dengan kak Fahri, lelaki yang selama ini aku
cintai. Terima kasih atas semuanya kak, Maya akan selalu menjadi adik
yang terbaik untuk kakak.”
Maya keluar dari kamar Nanda dan segera menuju ruang tamu.
Fahri yang melihat kedatangan Maya, tersenyum penuh bahagia.
”Subhanalloh, bidadari hatiku, percepatlah langkahmu untuk bersanding denganku.” Ujar Fahri lirih.
Tak lama kemudian penghulu bertanya apakah semuanya siap. Fahri dan Maya mengangguk.
”Baiklah,
saya nikahkan dan kawinkan Muhammad Fahri bin Romdhoni dengan Miftahul
Umayah binti Masruri dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang
tunai sebesar lima ratus ribu rupiah dibayar tunai.”
Dengan lantang Fahri menjawab,
”Saya
terima nikah dan kawinya Miftahul Umayah binti Masruri dengan mas kawin
seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar lima ratus ribu rupiah
dibayar tunai.”
Terdengar ucapan para warga yang menunjukkan bahwa pernikahan mereka telah sah.
”Alhamdulillah.” Ucap Maya dan Fahri lirih.
Dari balik tabir terlihat ibu mengusap air mata haru, Maya tersenyum.
Dalam hati ibu berbisik, ”Nanda, ibu sudah memenuhi permintaanmu nak.”
Setelah acara akad nikah selesai, Maya menghampiri Fahri dan berkata,
”Bolehkah aku ziarah ke makam kak Nanda, su…a..mi..ku..?” ucap Maya terlihat kaku.
”Tentu saja istriku, aku akan menemanimu.” Jawab Fahri seraya menggenggam tangan Maya.
Maya tersenyum dan mereka pun berangkat ke makam Nanda.
Sesampainya disana. Tak ada sepatah katapun dari Maya maupun Fahri.
Mereka berdua terlarut dalam khidmatnya doa untuk Nanda. Fahri terlelap
dalam dzikir-dzikir pada-Nya. Sesaat dia berbisik lirik,
”Nanda,
izinkan aku membahagiakan Maya, mencintai, dan menyayanginya sepenuh
jiwa. Aku takkan pernah menyia-nyiakan ketulusannya.”
Fahri mengangkat wajahnya dan menatap Maya.
Di lain hati Maya berbisik,
”Kak, Maya datang bersama Kak Fahri. Maya bahagia, Kak. Maya janji akan selalu menyayangi kak Fahri setulus hati Maya.”
Tanpa terasa tetesan air mata Maya di usap oleh jemari Fahri.
”Hapuslah
air matamu istriku, Nanda hanya menginginkan kebahagiaan kita.” Ucap
Fahri diiringi senyumnya, senyum yang penuh ketulusan.
Maya
tersenyum menatap Fahri. Dia berdoa dalam hati, ”Ya Robbi, terima kasih
atas semua karunia-Mu, begitu beruntungnya hamba menjadi istri kak
Fahri.”
Seolah tau apa yang ada di benak Maya, Fahri pun berkata,
”Akulah yang lebih beruntung mempunyai istri yang sempurna sepertimu.”
Fahri menarik tangan Maya dan memeluknya. Tak dapat terbendung lagi, air mata keduanya mengalir penuh haru.
Dalam hati Maya kembali berkata,
”Inikah cintaku yang tersembunyi itu? Cinta yang akhirnya tampak di depan kedua mataku? Allohu Akbar…!!!
0 komentar:
berkomentar yang membangun tidak termasuk spam/promosi